Artikel

Kartini dan Peran Ibu Masa Kini

Oleh:

Zahra Haidar

 Bulan April, selalu mengingatkan perempuan Indonesia pada perjuangan  RA Kartini. Saya masih ingat saat masih sekolah dulu , setiap tanggal 21 April sangat bersemangat untuk memakai baju kebaya. Ya, sudah menjadi tradisi bahwa setiap hari Kartini  di sekolah-sekolah para siswi diwajibkan memakai baju nasional. Meskipun  tidak ada relevansi antara citra dan perjuangan kartini dan kebaya, tetapi  momen  itu sangat berkesan bagi kami. Entah mengapa tradisi itu saat ini mulai  memupus. Akibatnya,  nyaris tak ada momen  bagi  generasi masa kini untuk mengenakan baju nasional.

Saat ini saya mengingat Kartini lebih pada perjuangannya untuk memajukan perempuan pribumi.  Pada masa  itu, Kartini melihat perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Ia berjuang agar perempuan Indonesia dapat bersekolah dan dapat disejajarkan perannya dengan pria. Perjuangan yang sangat mulia karena memang wanita juga memiliki hak yang sama sebagai manusia.

Kartini patut berbangga karena perjuangannya tidak sia-sia. Saat ini hampir tidak ada hambatan bagi kaum perempuan Indonesia  untuk mengenyam pendidikan. Bahkan kesempatan juga terbuka luas pada dunia kerja.

Hari Kartini merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan diri bagi kaum wanita.  Mungkin saat ini sudah bukan zamannya lagi untuk memperjuangkan emansipasi wanita yang lebih diartikan sebagai perjuangan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum pria. Sebab, sepertinya sudah tak ada halangan lagi bagi wanita untuk mengekspresikan diri. Berbagai ragam profesi mulai tukang batu hingga presiden tak lagi tabu untuk dijalani. Dalam sebuah seminar, Jaya Suprana mengungkapkan keheranannya mengapa para wanita masih menuntut persamaan hak. Dia mengemukakan fakta, sebenarnya hak-hak wanita jauh lebih banyak. Bahkan dia mengutarakan kecemasannya, suatu ketika wanita akan menindas kaum lelaki.

Yang harus diperjuangkan saat ini bukan lagi persamaan hak, tapi bagaimana wanita menghargai dan memberdayakan diri sesuai dengan fitrahnya. Secara fisiologis dan psikologis pria dan wanita memang diciptakan berbeda. Secara kodrati wanita diciptakan dengan sifat-sifat biologis seperti menstruasi, pregnasi, laktasi (datang bulan, mengandung (plus melahirkan), menyusui) yang tak mungkin dapat dilakukan oleh pria. Fungsi reproduksional ini secara kodrati membuat wanita paling bertanggung jawab dalam hal pengasuhan anak.

Dalam kaitannya dengan pendidikan anak-anak, Prof. Dr. Conny Semiawan, dosen psikologi UI, sempat menyatakan keprihatinannya akan menggejalanya kehancuran keluarga karena orangtua lebih memprioritaskan karier. Saat ini hampir setiap  ibu mulai dari kalangan ekonomi lemah sampai  yang paling atas bekerja dan berkarir di luar rumah. Dapat dibayangkan bagaimana kondisi anak-anak yang ditinggalkan bekerja. Bagaimana  menderitanya seorang bayi yang baru berusia satu bulan dan masih haus dekapan dan air susu ibu harus berpisah dengan sang ibu selama berjam-jam lamanya. Tentu perasaan sang ibu tak kalah menderita pula. Dan hal ini berlangsung dari hari ke hari sampai ia tumbuh besar jauh dari kasih sayang ayah dan ibu yang sama-sama sibuk bekerja. Tak dapat dipungkiri tentu ada sesuatu yang hilang dalam masa-masa pertumbuhannya.

Tentu tak ada salahnya seorang ibu bekerja atau berkarier, bila hal itu memang dibutuhkan, seperti untuk mencukupi kebutuhan keluarga atau karena keahliannya memang sangat di butuhkan demi kepentingan orang banyak.  Namun hal itu harus dipertimbangkan matang-matang sebelum mengambil keputusan. Ini adalah bentuk dari emansipasi yang sebenarnya, yaitu kebebasan bagi wanita untuk menentukan pilihannya sendiri dengan bahagia. Tentu bagi wanita yang bekerja tidak dapat melepaskan diri dari peran utamanya sebagai seorang ibu dalam sebuah keluarga. Satu hal yang perlu diingat bahwa perubahan zaman tidak berarti perubahan kodrat pada wanita. Hendaknya setiap wanita menyadari siapa dirinya dan apa kodratnya.

Bagi ibu yang memilih berkarier, tentu bukan hanya sekedar mengikuti tren karena merasa malu bila tidak bekerja. Ini adalah salah satu bentuk emansipasi yang salah kaprah. Seperti yang sering terjadi saat ini bila seorang ibu ditanya apa pekerjaannya, dengan malu-malu menjawab bahwa ia ‘hanya’   seorang ibu rumah tangga yang pekerjaannya ‘momong’ (mengasuh anak).  Padahal harusnya ia merasa bangga karena itu adalah sebuah profesi yang sangat mulia.

Kita memang tidak bisa melihat, bagaimana Kartini mengasuh dan membesarkan anaknya karena ia ditakdirkan meninggal dunia empat hari setelah melahirkan putranya. Tetapi, saya yakin obsesi Kartini untuk memajukan pendidikan perempuan Indonesia pada masa itu tak lepas dari pentingnya peran wanita sebagai seorang ibu. Seperti yang terungkap dalam surat RA Kartini kepada Rosa Abendanon,

Dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikannya, di haribaannyalah anak itu belajar merasa dan berpikir, berkata-kata, dan makin lama makin tahulah saya bahwa didikan yang mula-mula itu bukannya tidak besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian hari. Dan, bagaimana ibu bumiputera itu sanggup mendidik anaknya, bilamana mereka sendiri tidak berpendidikan?

Saat ini mungkin Kartini tersenyum saat melihat perempuan-perempuan Indonesia yang berpendidikan dapat menjadi ibu yang cerdas dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi generasi yang berkualitas. Dan untuk mereka, patutlah anak-anak mengatakan, Ibuku Kartiniku.  Selamat Hari Kartini, untuk para wanita Indonesia yang telah berperan aktif  dalam pembangunan serta para ibu yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mendidik generasi penerus bangsa. *

 

 

Memimpikan Kota Ramah Anak

Oleh: Zahra Haidar

 Siapa yang tidak sayang anak? Setiap orang pasti sayang pada anak. Orang tua  mau mengorbankan apa pun demi anak.  Mereka tidak akan ragu untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan anak. Orang tua bekerja keras kalau ditanya pasti jawabannya adalah untuk kepentingan anak. Namun yang terjadi seringkali justru sebaliknya. Ibu-ibu yang sibuk bekerja tak punya waktu cukup untuk menyusui anaknya, bermain, atau menemani mereka. Bahkan terkadang tak sempat menyiapkan makanan yang bergizi, cukup membeli makanan cepat saji atau mi  instan saja.  Lebih-lebih ayah, tak jauh beda.

Bagaimana pula dengan peran pemerintah dan lingkungan masyarakat di sekitar anak. Apakah sudah cukup memenuhi hak-hak mereka?  Dengan membangun sarana kebutuhan masyarakat (orang dewasa), pemerintah kota menganggap bahwa kebutuhan anakpun telah terwakili dan terpenuhi dengan sendirinya. Padahal yang terjadi  seringkali pembangunan yang dilakukan membabat lahan bermain mereka. Pengabaian pemerintah kota terhadap anak bukan hanya pada kebijakan dan anggaran yang terbatas, tetapi juga pada pelayanan dan keterbatasan penyediaan sarana kota yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak.

Lingkungan di sekitar anak juga kurang memberikan keamanan dan kenyamanan bagi anak. Jalan yang rusak dan berlubang, kurangnya penerangan, polusi, kaki lima, kurangnya lahan terbuka untuk tempat bermain, kurangnya fasilitas permainan, penjual jajanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, fasilitas transportasi yang kurang nyaman,  coretan-coretan di dinding, tayangan media hiburan yang kurang sesuai untuk anak, dan masih banyak lagi lainnya.

Benarkah kita telah bekerja untuk kepentingan anak?  Atau tanpa sadar kita justru telah mengabaikan atau melanggar hak-hak mereka? Mungkin kita perlu merenungkan kembali apa saja hak dan kebutuhan anak yang harus kita penuhi? Apabila merujuk pada Konvensi Hak Anak, (Save the Children,1996) disebutkan bahwa anak mempunyai beberapa hak berikut ini:

  • Ø mempunyai hak untuk tempat tinggal – pasal 27 menegaskan hak setiap anak atas kehidupan untuk pengembangan fisik, mental, spritual, dan moral. Untuk itu orang tua bertanggung jawab mengupayakan kondisi kehidupan yang diperlukan untuk mengembangkan anak sesuai dengan kemampuan. Kondisi seperti ini sulit didapatkan oleh anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan terputus dengan orang tua;
  • Ø mempunyai hak untuk mendapatkan keleluasaan pribadi – tempat tinggal padat dan tumpang tindih di kota menjadikan anak merasa terganggu keleluasaan pribadinya. Kondisi seperti ini banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di kota, sehingga dampaknya adalah perasaan tertekan dan ketegangan pada diri anak;
  • Ø mempunyai hak untuk mendapatkan rasa aman – keamanan fisik dan psikososial merupakan hal penting bagi anak yang ada di kota. Lemahnya penegakan hukum, meluasnya kekejaman dan kejahatan mempunyai dampak yang kuat terhadap anak dan remaja;
  • Ø mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat – sanitasi buruk, kurangnya air bersih, kurangnya fasilitas toilet, dan banyaknya sampah memberi dampak yang serius terhadap kesehatan anak. Kondisi kota seperti ini menghadapi masalah serius terhadap tumbuh kembang anak, karena mereka muda terjangkit penyakit cacar, diare, ISPA, TBC, dan penyakit lain yang sering dialami oleh warga yang tinggal di wilayah kumuh;
  • Ø mempunyai hak untuk bermain – ini artinya tersedia areal hijau dan ruang terbuka untuk bermain.
  • Ø mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan – setiap anak mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh layanan pendidikan. Hal ini perlu mendapat perhatian pemerintah kota tentang pelayanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak, terutama bagi keluarga yang tidak mampu. Ketersediaan sekolah  termasuk kualitas sekolah perlu mendapat perhatian yang serius;
  • Ø mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan transportasi umum – mengakses tranportasi umum yang baik untuk semua merupakan hal yang sangat penting. Dibutuhkan sarana transportasi yang aman untuk berjalan kaki, naik sepeda atau mengakses transportasi yang tidak menghasilkan polusi; dan ramah anak.

Anak merupakan bagian dari warga kota. Data UNICEF, 43 persen atau 33.586.440 jiwa penduduk Indonesia berusia di bawah 18 tahun bertempat tinggal di kota – termasuk anak usia di bawah 5 tahun 9.318.960 anak (Unicef, 2004). Angka ini akan bertambah dengan pertumbuhan 4,3 persen per tahun, sehingga diperkirakan pada tahun 2025, 60 persen warga kota adalah anak.  Perkembangan dan pertumbuhan kota dan industri yang kurang terencana, menurut Dr. Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO untuk Kawasan Asia Tenggara, telah menambah resiko baru untuk kesehatan anak. Belakangan ini, banyak penyakit yang diderita oleh anak, berkait erat dengan lingkungan tempat mereka tinggal, belajar, dan bermain (rumah, sekolah dan komunitas mereka).

Permasalahan-permasalahan di atas mendasari  dicetuskannya gagasan Child Friendly City Initiative, di Indonesia dikenal dengan sebutan Kota Ramah Anak. Gagasan tersebut lahir pada Konferensi Habitat II atau City Summit, di  Istambul, Turki tahun 1996. Saat itu perwakilan pemerintah dari seluruh dunia bertemu dan menandatangani Agenda Habitat. Pembukaan Agenda Habitat, secara khusus menegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak; terlibat dalam proses mengambilan keputusan; serta terpenuhi kebutuhan dan peran anak dalam bermain di lingkungannya.

Pada UN Special Session on Children, Mei 2002, para walikota menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak. Pada pertemuan tersebut mereka juga merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk:

1. mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan melindungi hak anak;

2. mempromosikan peran serta anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.

Upaya UNICEF dan UNHABITAT ini terus-menerus dipromosikan ke seluruh dunia dengan upaya meningkatkan kemampuan pemerintahan daerah.

Pengertian

Kota Ramah Anak menurut UNICEF Innocenti Reseach Centre adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak: keputusannya mempengaruhi kotanya; mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan;   dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial; menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan;       mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang baik; terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah; aman berjalan di jalan; bertemu dan bermain dengan temannya; mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan; hidup di lingkungan yang bebas polusi; berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; dan setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.

Gerakan ini telah mulai dilakukan di beberapa negara seperti India, Filipina, Brazil yang menunjukkan hasil menggembirakan. Program Kota Ramah Anak di Filipina memperoleh sambutan hangat, karena sebelumnya warga kota telah mendapat pengetahuan mengenai program “Pelayanan Dasar Kota”.
Di Brazil, setiap kotanya memiliki sebuah dewan kota yang beranggotakan anak dan remaja. Setiap kecamatan mengirimkan perwakilannya, terdiri satu perempuan dan satu laki-laki ke dewan kota.

Di Indonesia beberapa upaya tengah ditempuh agar dapat menerapkan konsep Kota Ramah Anak. Salah satu di antaranya adalah dengan pengadaan program-program sosialisasi dan mengadakan program percontohan seperti Sidoarjo Kota Ramah Anak yang menjadi Pilot Projek Pemkab/Pemko Se Indonesia.

Bagaimana dengan di kota kita? Rasanya sudah saatnya kepedulian terhadap anak-anak ini dituangkan dengan lebih nyata melalui program yang terencana dan menyeluruh agar hak-hak anak tidak terabaikan. Mungkin sudah saatnya pemerintah dan seluruh komponen masyarakat merancang konsep yang sesuai dengan kondisi  dan kebutuhan anak-anak di wilayah kota Pasuruan, Probolinggo, dan sekitarnya. Tentu diperlukan perencanaan dan konsep yang matang agar agenda ini tidak berwujud seremonial atau slogan belaka. Suara anak juga perlu di dengar, agar rencana yang dibuat sesuai dengan kebutuhana dan keinginan mereka.

Mungkin kita perlu memberikan perhatian khusus pada peningkatan gizi; peningkatan peran keluarga dalam memenuhi hak anak; menghilangkan kekerasan ferbal maupun fisik terhadap anak; proses pendidikan yang memberikan kebebasan berekspresi pada anak; sarana bermain, sarana berolahraga dan menyediakan wadah untuk mengekspresikan seni;  perpustakaan kota dengan fasilitas yang nyaman dan memadai; layanan rumah sakit  yang ramah anak; menutup jalan-jalan berlubang yang membahayakan anak; sanitasi, merelokasi tempat pembuangan sampah di tepi jalan bahkan dekat dengan lingkungan sekolah yang menimbulkan polusi; memberi perhatian khusus pada anak jalanan, anak cacad, serta anak-anak bermasalah; menyediakan sarana, fasilitas dan kebijakan-kebijakan dalam pembangunan yang memenuhi hak anak.

Perwujudan kota yang tenang dan nyaman bagi anak dan penghuni kota lainnya membutuhkan proses panjang, dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pembangunan kota. Pada tiap tahapan, perlu ada keseimbangan antara peran pemerintah dan masyarakat. Suara anak juga tak dapat diabaikan, mereka perlu didengar tentang pendapat dan keinginannya. Program ini dapat terwujud melalui suatu kemitraan yang seluas-luasnya dengan melibatkan semua pihak yang ada di kota. Kemitraan dapat dibangun dengan melibatkan sektor swasta, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah kota dari masing-masing departemen atau sektor, organisasi non pemerintah, dan masyarakat sipil. Semua pihak harus ikut berperan serta sesuai dengan bidang dan keahlian yang dimilikinya. Bila semua orang sayang anak, tentu bukan hal yang sulit untuk melakukannya.

 

Wanita Kembali ke Fitrah

Oleh:

Zahra Haidar

Hari Ibu merupakan momen untuk mengenang dan menghargai jasa dan pengorbanan setiap ibu, perempuan, wanita. Momen ini biasanya juga menjadi ajang perjuangan wanita untuk memperjuangkan hak dan eksistensinya. Di Indonesia hari ini dirayakan pada tanggal 22 Desember.

Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita yang mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 2225 Desember 1928 di Yogyakarta. Peristiwa yang diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia.

Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.

Berbeda dengan peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.

Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.

Berbagai Cara Memperingati

Hari Ibu seringkali diperingati dengan cara mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu. Berbagai kegiatan digelar seperti pemberian kado istimewa, surprise party bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Bila mengacu sejarah, seharusnya peringatan Hari Ibu tidak hanya dimaknai sebagai hari mengungkapkan kasih sayang dan memanjakan ibu. Itu tidak salah. Namun, misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa.

Berbagai isu yang berkembang dalam Kongres Perempuan Indonesia I saat itu  antara lain persatuan perempuan nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan mencapai  kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.

Di Amerika yang merupakan tempat lahirnya Gerakan Pembebasan Wanita atau Women Liberation Movement (Women’s Lib) gencar memperjuangkan persamaan hak wanita. Yang menyedihkan adalah bahwa emansipasi yang mereka perjuangkan justru memunculkan permasalahan baru bagi wanita. Salah satu yang paling nampak adalah tingginya angka perceraian. Tahun 1980 jumlah anak yang dibesarkan oleh kepala keluarga wanita telah mencapai 50 %. Majalah Fortune melaporkan bahwa penyebab utama perceraian maupun gangguan hubungan sosial dalam keluarga adalah stress yang dialami para wanita eksekutif. Mereka yang berpacu dalam dunia materi banyak dirundung kekecewaan, kekhawatiran, ketidakpuasan, dan akhirnya mengganggu pelaksanaan tanggung jawab mereka dalam keluarga.

Sementara itu kriminalitas terhadap wanita di Amerika juga meningkat. Kekerasan fisik dialami wanita setiap 8 detik. Rata-rata seorang wanita diperkosa setiap 6 menit. Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari propaganda feminis yang menuntut kebebasan utuh dan sejajar dengan pria yang membawa kecenderungan pergaulan bebas dan keengganan menikah.

Lain lagi dengan Kongres Wanita di Beijing.  Di antara berbagai keputusan yang dimaksudkan untuk kesejahteraan wanita sedunia, terdapat keputusan-keputusan yang menimbulkan kengerian di benak kita. Di antaranya, kelonggaran bagi anak-anak mengatur kehidupan sendiri, mengurangi tanggung jawab orang tua, kebebasan memperoleh kenikmatan seksual yang menjurus pada legalitas aborsi, hak atas orientasi seksual yang menjurus pada legalitas pasangan homo seksual, dsb. Surat Ibu Theresia yang dikirim kepada kongres berbunyi: “Wanita dan pria berbeda, justru perbedaan itulah yang indah” tak ditanggapi. Dilain pihak, argumentasi negara Arab (Islam) tentang lebih baik menggunakan kata “keadilan” daripada “kesamaan” juga tak dihiraukan. Begitulah bila emansipasi salah diartikan, hasilnya adalah kebablasan.

Momen untuk Merefleksi Makna Perjuangan

Hari Ibu merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan diri bagi kaum perempuan.

Mungkin saat ini sudah bukan zamannya lagi untuk memperjuangkan emansipasi wanita yang lebih diartikan sebagai perjuangan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum pria. Sebab, sepertinya sudah tak ada halangan lagi bagi wanita untuk mengekspresikan diri. Berbagai ragam profesi mulai tukang batu hingga presiden tak lagi tabu untuk dijalani. Dalam sebuah seminar, Jaya Suprana mengungkapkan keheranannya mengapa para wanita masih menuntut persamaan hak. Dia mengemukakan fakta, sebenarnya hak-hak wanita jauh lebih banyak. Bahkan dia mengutarakan kecemasannya, suatu ketika wanita akan menindas kaum lelaki.

Yang harus diperjuangkan saat ini bukan lagi persamaan hak, tapi bagaimana wanita menghargai dan memberdayakan diri sesuai dengan fitrahnya.

Masalah yang dihadapi kaum wanita di Barat sehingga menimbulkan gerakan feminis bisa jadi karena runtuhnya tradisi agama. Sebetulnya dalam agama dan beberapa tradisi budaya lama, kedudukan wanita tinggi dan terhormat. Agama (setidaknya Islam) sangat meninggikan wanita. Di dalam agama Islam, orang yang harus dihormati adalah ibu, baru kemudian  ayah (Hadits). Sebuah ayat Al-Qur’an mengatakan, diharamkan neraka bagi suami yang sabar dan cinta pada istrinya.

Islam meletakkan status wanita setara dengan pria. Karena dalam Islam orang yang paling mulia adalah orang yang bertakwa, sehingga seorang wanita mencapai derajat yang sama di sisi Allah. Kalaulah Islam meletakkan derajat pria lebih tinggi daripada wanita, itu harus dipahami dalam konteks kepemimpinan dan kewajiban memberikan nafkah.

Secara fisiologis dan psikologis pria dan wanita memang diciptakan berbeda. Secara kodrati wanita diciptakan dengan sifat-sifat biologis seperti menstruasi, pregnasi, laktasi (datang bulan, mengandung (plus melahirkan), menyusui) yang tak mungkin dapat dilakukan oleh pria. Fungsi reproduksional ini secara kodrati membuat wanita paling bertanggung jawab dalam hal pengasuhan anak.

Dalam kaitannya dengan pendidikan anak-anak, Prof. Dr. Conny Semiawan, dosen psikologi UI, sempat menyatakan keprihatinannya akan meggejalanya kehancuran keluarga karena orangtua lebih memprioritaskan karier. Saat ini hampir setiap  ibu mulai dari kalangan ekonomi lemah sampai  yang paling atas bekerja dan berkarir di luar rumah. Dapat dibayangkan bagaimana kondisi anak-anak yang ditinggalkan bekerja. Bagaimana  menderitanya seorang bayi yang baru berusia satu bulan dan masih haus dekapan dan air susu ibu harus berpisah dengan sang ibu selama berjam-jam lamanya. Tentu perasaan sang ibu tak kalah menderita pula. Dan hal ini berlangsung dari hari ke hari sampai ia tumbuh besar jauh dari kasih sayang ayah dan ibu yang sama-sama sibuk bekerja. Tak dapat dipungkiri tentu ada sesuatu yang hilang dalam masa-masa pertumbuhannya.

Tentu tak ada salahnya seorang ibu bekerja atau berkarier, bila hal itu memang dibutuhkan, seperti untuk mencukupi kebutuhan keluarga atau karena keahliannya memang sangat di butuhkan demi kepentingan orang banyak.  Namun hal itu harus dipertimbangkan matang-matang sebelum mengambil keputusan. Ini adalah bentuk dari emansipasi yang sebenarnya, yaitu kebebasan bagi wanita untuk menentukan pilihannya sendiri dengan bahagia. Tentu bagi wanita yang bekerja tidak dapat melepaskan diri dari peran utamanya sebagai seorang ibu dalam sebuah keluarga. Satu hal yang perlu diingat bahwa perubahan zaman tidak berarti perubahan kodrat pada wanita. Hendaknya setiap wanita menyadari siapa dirinya dan apa kodratnya.

Bagi ibu yang memilih berkarier, tentu bukan hanya sekedar mengikuti tren karena merasa malu bila tidak bekerja. Ini adalah salah satu bentuk emansipasi yang salah kaprah. Seperti yang sering terjadi saat ini bila seorang ibu ditanya apa pekerjaannya, dengan malu-malu menjawab bahwa ia ‘hanya’   seorang ibu rumah tangga yang pekerjaannya ‘momong’ (mengasuh anak).  Padahal harusnya ia merasa bangga karena itu adalah sebuah profesi yang sangat mulia.  ***

Tinggalkan komentar

Mengajar adalah Belajar